Pekanbaru, - Baru-baru ini, Komisi VII DPR RI menyoroti pengelolaan Blok Minyak dan Gas (migas) Coastal Plains and Pekanbaru (CPP) di Riau, yang cenderung menurun drastis. Sementara di satu sisi, Pemerintah lewat Dirjen Migas Kementerian ESDM RI, SKK Migas, PT Pertamina Hulu Energi, malah menyetujui PT Bumi Siak Pusako milik BUMD Kabupaten Siak, untuk mengelola CPP Blok secara tunggal dan keseluruhan tanpa melibatkan PT Pertamina Hulu Energi kedepannya.
Lantaran itu, beberapa anggota Komisi VII DPR RI, sempat meradang dan mempertanyakan 'niatan' Dirjen Migas Kementerian ESDM RI, saat menggelar Rapat Dengar Pendapat Komisi VII dengan Dirjen Migas Kementerian ESDM RI, SKK Migas, PT Pertamina Hulu Energi, dan PT Bumi Siak Pusako pada Senin (14/2/2022) di Gedung Nusantara II, Senayan, Jakarta.
Pada kesempatan itu, Anggota Komisi VII DPR RI Ramson Siagian, mempertanyakan maksud dan tujuan Dirjen Migas Kementerian ESDM RI, SKK Migas dan PT Pertamina Hulu Energi, memberikan secara penuh pengelolaan Blok CPP tersebut kepada PT BSP, sementara kinerja PT Bumi Siak Pusako dan Pertamina Hulu Energi sejak 2002 lalu, cenderung menurun, meski harga pasaran minyak dunia mengalami kenaikan.
"Saya peroleh data ada penurunan produksi minyak. padahal di satu sisi ada tren kenaikan harga minyak. Tentunya kalau berlanjut turun produksi, maka kita tidak bisa mengoptimalkan tren ini, " kata Ramson Siagian dalam Rapat Dengar Pendapat Komisi VII dengan Dirjen Migas Kementerian ESDM RI, SKK Migas, PT Pertamina Hulu Energi, dan PT Bumi Siak Pusako di Gedung Nusantara II, Senayan, Jakarta saat itu.
Lantaran itu, dia mengimbau agar SKK Migas dapat melakukan pengarahan serta Dirjen Migas supaya mematok regulasi yang tepat dan Juga tak lupa pengelolaan operasional di lapangan perlu diperhatikan.Hal senada juga dipertegas oleh Anggota DPR Komisi VII DPR RI Muhammad Nasir, yang meminta pengelolaan Blok Migas CPP oleh PT Bumi Siak Pusako selama 20 tahun ke depan, agar dapat dibatalkan. Karena, menurutnya BUMD ini belum kompeten dalam mengelola blok migas.
Hal itu tercermin sebut M Nasir, lantaran BUMD tersebut tidak pernah mencapai target produksi migas sejak dikelola oleh PT Bumi Siak Pusako dan Pertamina Hulu Energi sejak 2002 lalu.
Menurut Nasir, SKK Migas harus mengaudit PT Bumi Siak Pusako secara mendalam, karena dinilai berkinerja kurang baik, terutama dalam melakukan pengembangan sumur migas.Tak hanya penurunan produksi minyak di CPP Blok, abang Kandung Muhammad Nazaruddin tersebut, juga menyinggung profesionalitas di dalam tubuh BSP.
Ia juga meminta pemerintah meninjau kembali penunjukan BSP dalam pengelolaan blok minyak tersebut secara 100 persen mulai tahun 2022 ini."Pengurus perusahaan ini dari bupati ke keluarganya, anak bupatinya, dan lain-lain, gitu-gitu aja ini. Nggak ada profesional dikembangkan di sini, " kata Nasir saat itu.
Pernyataan Nasir tersebut, kemudian menjadi polemik dan mendapat penolakan dari berbagai pihak di Riau. Bahkan mereka mempertanyakan maksud pernyataan tersebut dan mencurigai ada sesuatu dibalik pernyataan tersebut disampaikan.
Sementara berdasarkan penelusuran Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) Riau, ternyata memang benar ada anak-anak Bupati dan elite di Riau bekerja serta menjadi karyawan di Badan Usaha Milik Daerah Bumi Siak Pusako (BUMD BSP).BSP sejak awal berdiri mengelola Coastal Plains and Pekanbaru Block (CPP Block) pada tahun 2002 silam dengan menggandeng Pertamina dalam bentuk Badan Operasi Bersama (BOB) BSP-Pertamina Hulu.
"Selain Riki Hariansyah (anak Arwin AS), juga ada anak Gubernur Riau, Syamsuar bekerja di BSP. Namanya Muhammad Andri, " ungkap Manager Advokasi Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) Provinsi Riau, Taufik, kepada Wartawan pada Kamis 17 Februari 2022.
Disebutkannya, Riki Hariansyah merupakan anak Bupati Siak pertama yang berkuasa selama 10 tahun di zaman Arwin AS, 2001-2011. Ia pernah menjadi Ketua DPW PKB Riau serta anggota DPRD Riau. Dan kini ia menjabat sebagai Sekretaris Perusahaan (Sekper) BSP.Sedangkan Muhammad Andri lanjut Taufik, merupakan anak sulung Gubernur Riau, Syamsuar, juga bekerja di BSP dengan jabatan Fire And Safety System Engineer sejak Desember 2014.
Syamsuar sebelum menjabat orang nomor satu di Riau pernah menjadi Bupati Siak 2 periode, 2011-2019, sebelum akhirnya dilantik oleh Presiden Joko Widodo sebagai Gubernur pada 20 Februari 2019 di Istana Negara."Artinya, benar apa disampaikan Muhammad Nasir, pengurusan BSP dari bupati ke keluarganya, anak bupatinya. BUMD di Riau juga tak steril dari dinasti kekuasaan, " kritiknya.
Sebagaimana diketahui, komposisi pemegang saham BSP mayoritas dipegang Pemkab Siak dengan 7.200 lembar saham senilai Rp Rp 180 miliar (72, 29 persen), disusul Pemkab Kampar 600 lembar saham senilai Rp 15 miliar (6, 02 persen), Pemkab Pelalawan 240 lembar saham senilai Rp 6 miliar (2, 41 persen).
Kemudian, Pemprov Riau 1.800 lembar saham senilai Rp 45 miliar dengan 18, 07 persen, dan terakhir Pemko Pekanbaru 120 lembar saham Rp 3 miliar dengan 1, 21 persen. Total keseluruhan nilai penyertaan modal di BSP Rp 249 miliar.Komisi VII DPR RI meminta Kementerian ESDM dan Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) untuk mengkaji ulang terkait penetapan BUMD Riau, yakni PT Bumi Siak Pusako (PT BSP) sebagai pengelola lanjut Wilayah Kerja (WK) Blok Migas CPP sebesar 100% pasca 8 Agustus 2022.
Memang, Bumi Siak Pusako mengelola Blok CPP ini bersama dengan PT Pertamina Hulu Energi (PHE) dengan hak patisipasi atau Participating Interest (PI) masing-masing 50%.Hanya saja, dalam catatan Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Migas (SKK Migas), hanya Bumi Siak Pusako yang mendapatkan perpanjangan kontrak Blok CPP yang berakhir pada Agustus 2022 ini.
Komisi VII DPR RI mempertanyakan terkait ada atau tidaknya pihak swasta yang akan mengelola operasional blok Migas CPP, karena sebelumnya disebutkan bahwa PT BSP, akan mengelola 100% blok Migas CPP pasca penetapannya menjadi pengelola lanjut.Hal ini juga menyusul terkait pernyataan Direktur Utama PT Bumi Siak Pusako, Iskandar, yang mengatakan susunan pemegang saham PT BSP terbagi untuk beberapa wilayah.
"Pemprov Riau adalah 18%, Kabupaten Siak 72, 29%, Kampar 6, 02% Kabupaten Pelalawan 2, 41?n Pemko Pekanbaru 1, 21%, " ujar Iskandar dalam acara Rapat Dengar Pendapat Komisi VII DPR RI, Senin (14/2/2022).Atas hal tersebut, Komisi VII meminta hal ini untuk kembali ditinjau. Desakan Komisi VII ini dicantumkan dalam beberapa poin.
Pertama, Komisi VII DPR RI meminta kepala SKK Migas untuk melakukan audit menyeluruh terhadap Cost Recovery WK CPP Badan Operasi Bersama (BOB) Pertamina Hulu Energi dan PT Bumi Siak Pusako tahun 2002-2021.Kedua, Komisi VII DPR RI meminta SKK Migas dan Dirjen Migas Kementerian ESDM untuk melakukan evaluasi secara menyeluruh terhadap proses perpanjangan WK CPP kepada PT Bumi Siak Pusako yang efektif berlaku 9 Agustus 2022.Terakhir, Komisi VII DPR RI meminta Dirjen Migas KESDM RI, Kepala SKK Migas, Dirut Pertamina Hulu Energi, Dirut PT Bumi Siak Pusako, untuk menyampaikan jawaban tertulis atas semua pertanyaan Anggota Komisi VII DPR RI dan disampaikan kepada Komisi VII DPR RI paling lambat tanggal 21 Februari 2021.
Sementara itu, Direktur Jenderal Migas ESDM RI, Tutuka Ariadji, mengatakan pemberian perpanjangan kontrak Blok CPP kepada PT BSP telah melalui beberapa pertimbangan.Pertama sebutnya, nilai komitmen yang ditawarkan PT BSP telah meningkat dari usulan awal, yakni US$ 41 juta menjadi US$ 130, 4 juta, sehingga telah sesuai dengan perhitungan SKK Migas"Kedua, PT BSP mengajukan besaran signature bonus sebesar US$ 10 juta dan tanpa diskresi (tambahan split), " ujar Tutuka dalam acara Rapat Dengar Pendapat Komisi VII DPR RI, Senin (14/2/2022).
Baca juga:
Masyarakat Rengat Barat Ikut Vaksin COVID-19
|
Ketiga, kondisi finansial PT BSP yang memiliki kesanggupan pendanaan untuk pembayaran signature bonus, jaminan pelaksanaan, dan melaksanakan Komitmen Kerja Pasti (KKP) serta mengelola WK CPP.Keempat, proposal yang disampaikan oleh Pertamina nilainya jauh di bawah dari proposal PT BSP (KKP USD 61 juta, SB USD 1 juta tanpa diskresi atau USD 10 juta dengan 5% diskresi atau 20 juta dengan 10% diskresi)
"Dan yang kelima, Pertamina tidak bersedia memperbaiki proposal dan menerima apabila pemerintah memberikan pengelolaan WK CPP kepada PT BSP, " tambahnya.Tutuka menambahkan, PT BSP telah menyampaikan permohonan perpanjangan kontrak WK CPP melalui surat nomor 38 tahun 2018 tertanggal 4 Mei 2018.
"SKK Migas merekomendasikan PT BSP untuk mengelola Wilayah Kerja CPP pasca 8 Agustus 2022 dengan partisipasi interest 100?rdasarkan surat nomor 0786 tahun 2018 tertanggal 21 September 2018, " tuturnya.Kontrak kerja sama perpanjangan CPP tersebut telah ditandatangani pada 29 November 2018 dengan skema gross split untuk jangka waktu 20 tahun, yang akan berlaku efektif mulai tanggal 9 Agustus 2022 sampai dengan 8 Agustus 2042.Forum Indonesia Untuk Transparansi Anggaran Riau (Fitra Riau) menilai bahwa akuntabilitas dalam pengelolaan keuangan dan sumber daya manusia (SDM) pada Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) di sektor migas belum baik dan profesional.
Karena itu Fitra Riau mendorong, agar pemerintah daerah di Riau, sebagai pemilik saham BUMD yang bekerja di sektor Migas, harus mengambil langkah strategis untuk memperbaiki manajemen di tubuh badan usaha plat merah itu.Akuntabilitas Keuangan dan SDM BUMD Migas Riau Buruk Kembali kepada Manager Advokasi Fitra Riau, Taufik, mengatakan, pihaknya bersama masyarakat sangat mendukung, langkah pemerintah daerah untuk mengambil bagian dalam pengelolaan usaha hulu Migas yang menjadi salah satu kekayaan SDA strategis di Riau.
"Namun, hal yang sangat penting adalah BUMD yang ditetapkan itu harus dikelola dengan baik, professional. Agar kesejahteraan masyarakat yang menjadi tujuan bersama benar-benar dapat tercapai, " kata Taufiq dalam keterangan tertulisnya, pada Kamis (17/2/22).Ia menyebut, terdapat tiga (tiga) BUMD yang saat ini menjadi pengelola usaha hulu migas di Riau, yaitu PT Bumi Siak Pusako, PT Sarana Pembangunan Riau (SPR) Langgak, dan kemudian PT Riau Petroleum sebagai pengelola PI (Partisipasi Interest) di Blok Siak. "Namun, manajemen pengelolaan ketiga perusahaan itu belum dapat dikatakan baik, kredibel dan profesional", tegas Taufik.
Ia mengecohkan temuan BPK pada PT Bumi Siak Pusako (BSP), perusahaan pengelola blok Coastal Plains and Pekanbaru (CPP) yang bekerja sama dengan PT Pertamina Hulu energi (PHE).Menurut Taufik, merujuk pada Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) BPK RI, atas pengelolaan kegiatan operasional BUMD Migas PT BSP tahun 2018-2020, menemukan sedikitnya Rp 39, 3 miliar pengeluaran perusahaan yang bermasalah dan potensi merugikan keuangan negara.
"Temuan tersebut, berasal beberapa komponen pembiayaan seperti biaya entertainment, perjalanan dinas, pengelolaan dana CSR, biaya promosi perusahaan, sampai kepada pengelolaan gaji. Terdapat beberapa temuan yang berpotensi merugikan negara. Ini harus diperbaiki, apalagi 2022 ini PT BSP akan menjadi pengelola tunggal Blok CPP, " beber Taufik.Masih di PT BSP, lanjut Taufik, manajemen pengelolaan SDM juga belum professional. Pada beberapa posisi strategis di perusahaan itu ditengarai diisi oleh orang-orang dekat dengan kekuasaan yang berpotensi konflik of Interest.Begitu juga perwakilan pemerintah (pemilik Saham) dalam struktur komisaris juga masih menggunakan pejabat aktif pemerintah, yang berpotensi tidak mampu bekerja maksimal, karena banyak yang di urus.
"Sementara, BUMD pengelola hulu Migas PT. SPR Langgak, juga ditengarai memiliki masalah yang sama, " katanya.Bahkan parahnya perusahaan ini sangat tertutup, publik dan tidak bisa mengakses laporan tahunnya melalui melalui website resmi perusahaan ini. Sehingga public tidak bisa tahu bagaimana kinerja perusahaan ini."Seharusnya perusahaan BUMD, apalagi pengelola hulu Migas harusnya lebih professional, terbuka. Laporan perusahaan harus tersedia dan mudah diakses publik, " jelas Taufik.
Masih kata Taufik, fakta temuan itu menunjukkan menunjukkan akuntabilitas pengelolaan keuangan di BUMD Migas belum baik dan SDM yang tidak professional ditengarai sebagai faktor penyebabnya."Seperti minim kontribusinya terhadap pendapat Daerah di Riau akibat biaya operasional yang tidak terkendali, " ungkapnya.Lebih lanjut Fitra Riau juga mengungkapkan kontribusi PT BSP terhadap pendapatan daerah untuk lima daerah pemilik saham (Provinsi, Siak, Pelalawan, Pekanbaru, dan Kampar, tahun 2020 sebesar Rp. 82, 8 Milyar. "Angka tersebut menurun (-8, 2%) dari tahun 2019 yaitu sebesar Rp. 90, 2 Miliar, " terangnya.
Sementara, dalam temuan Fitra Riau, BUMD Migas yang minim kontribusinya terhadap pendapatan daerah adalah PT. SPR Langgak."Dalam empat tahun (2017-2020) perusahaan plat merah ini hanya menymbang deviden sebesar Rp 1, 8 Miliar. Bahkan tahun 2017 dan 2018 tidak ada sama sekali kontribusinya terhadap pemilik saham 99% (Provinsi Riau), " tutur Taufik.Taufik kemudian menegaskan, pembenahan perusahaan BUMD, mutlak harus dilakukan khususnya oleh pemerintah pemilik saham di perusahaan Migas itu.
"Memastikan pengelolaan SDM professional, publikasi laporan tahunan di website, perbaikan akuntabilitas keuangan adalah hal-hal penting yang harus dilakukan. Agar tujuan hasil sumberdaya untuk kesejahteraan masyarakat dapat terwujud, " pungkasnya.Aktivis anti rasuah di Pekanbaru, turut angkat bicara dan mengatakan persoalan tersebut dan harus segera diselesaikan, sehingga publik tidak berasumsi buruk kepada PT BSP dan BUMD Migas lainnya di Riau.
"Hal ini harus diambil tindakan tegas oleh pemegang saham, sehingga tidak berakibat buruk, bagi masyarakat riau di depan publik kedepannya, " kata Ketua Umum Lembaga Independen Pembawa Suara Tranparansi (INPEST) Ir. Ganda Mora, M.Si, pada Kamis (17/2/2022) malam.
Ia juga menyebutkan, PT BSP dan BUMD Migas lainnya di Riau harus berbenah diri untuk memperbaiki kinerja yang buruk tersebut, karena mata publik saat sangat 'melek' melawan perbuatan yang dinilai tidak baik."Pantas saja anggota komisi VII DPR meradang, sebab ada penumpang gelap rupanya selama ini di sana, " Tutupnya. (Mulyadi).